Senin, 15 Maret 2010

integrasi interkoneksi, antara teori dan praktik

Bagi kalangan intelektual muslim khususnya di Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah konsep integrasi dan interkoneksi, apalagi bagi mahasiswa UIN (Universitas Islam Negeri) di Indonesia, kedua istilah ini sudah menjadi bahan pembicaraan rutin dalam forum diskusi formal maupun informal di lingkungan kampus. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta misalnya, istilah integrasi dan interkoneksi sudah diperkenalkan sejak mahasiswa mengikuti sosialisasi pembelajaran dan sosialisasi kurikulum. Akan tetapi satu hal yang disayangkan adalah familiernya mahasiswa dengan istilah integrasi interkoneksi ini tidak diikuti dengan pemahaman yang komperehensif terhadap kedua istilah tersebut. Akibatnya konsep integrasi interkoneksi yang menjadi pijakan UIN dalam mengembangkan ciri khas keilmuannya seakan hanya menjadi wacana dan belum aplikatif di kalangan mahasiswa khususnya, walaupun ada kemungkinan juga terjadi di kalangan sebagian tenaga pendidiknya. Di sisi lain alasan kewajaran bisa diberikan karena transformasi IAIN menjadi UIN juga belum terlalu lama, akan tetapi sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengusung konsep integrasi dan interkoneksi hendaknya lebih cepat dalam mengembangkan pemahaman konsep ini di kalangan internal sebelum mensosialisasikan kepada kalangan eksternal kampus. Maka dalam hal ini akan kita ulas mengapa konsep integrasi interkoneksi masih sulit dipahami dan tulisannya hanya menjadi penghias di buku-buku kurikulum (filosofis kata-katanya tetapi tidak dimengerti maknanya).
            Sampai saat ini konsep integrasi interkoneksi masih menjadi salah satu jargon utama di kalangan intelektual muslim kelas atas, sebutlah salah satunya Prof. Dr. H. Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menggambarkan konsep integrasi interkoneksi ini dengan visualisasi jaring laba-laba keilmuan (scientific spider web) sebagai miniatur sederhana agar lebih mudah untuk dipahami. Hal mendasar yang perlu dimengerti terlebih dahulu adalah konsep integrasi interkoneksi merupakan sebuah paradigma mendasar dalam struktur keilmuan keIslaman yang sedang dibangun kembali untuk menyeimbangkan struktur keilmuan yang sudah mulai timpang sejak runtuhnya kekuasaan Turki Usmani. Jadi sebenarnya konsep keilmuan integrasi interkoneksi ini telah berkembang pada beberapa abad yang lalu dan terbukti dapat memberikan nilai keseimbangan dalam kehidupan manusia dari berbagai segi kehidupan. Fakta ini dapat dilihat dalam sejarah abad pertengahan pada masa kejayaan Islam dan ilmu pengetahuan, dimana ilmu keagamaan Islam dan ilmu pengetahuan alam dan sosial dapat berkembang bersama tanpa harus saling terpisah apalagi sampai timbul konflik di antaranya. Pada akhirnya konsep seperti ini dirubah oleh para ilmuwan barat dengan mendikhotomikan beberapa bidang keilmuan. Hal ini disebabkan oleh dogma gereja yang selalu keras bertentangan dengan ilmu pengetahuan, maka akhirnya munculah sekat (gap) yang memisahkan para penganut gereja dengan para ilmuwan pada saat itu. Bagi para ilmuwan yang menentang dogma gereja berpendapat bahwa agama adalah candu yang hanya menyisakan keterbelakangan ilmu. Sejak itulah paradigma yang dikhotomis dalam struktur keilmuan muncul, dan parahnya paradigma inilah yang kita adopsi dari barat melalui berbagai ilmu pengetahuan alam dan sosial yang mereka kembangkan.
Jadi secara teoritis konsep keilmuan yang integratif interkonektif adalah konsep keilmuan yang terpadu dan terkait antara keilmuan agama (an-nash) dengan keilmuan alam dan sosial (al-ilm) dengan harapan akan menghasilkan sebuah out put yang seimbang etis filosofis (al-falsafah). Jadi hubungan antara bidang keilmuan tidak lagi terjadi konflik tetapi saling menghargai dan membangun, bidang keilmuan satu sama lain saling mendukung. Misalnya bagaimana keilmuan sains dan teknologi dapat mendukung eksistensi keilmuan agama, begitu juga sebaliknya. Sehingga dalam hal ini tidak lagi dijumpai ilmu agama bertentangan dengan ilmu alam atau ilmu alam bertentangan dengan ilmu etika misalnya. Pada dasarnya yang ingin dibangun kembali adalah paradigma yang salah dalam melihat struktur keilmuan secara utuh. Dalam Islam secara alamiah (sunnatullah) berkeyakinan bahwa tidak ada yang salah dengan struktur keilmuan yang sudah ada sejak zaman dahulu, hanya saja pandangan ilmuwan yang serba terbatas seringkali merubah tatanan keilmuan menjadi dikhotomis berdasarkan latar belakang dan kepentingan ilmuwan tersebut.
Sedikit sulit bagi kita dalam memahami sebuah paradigma yang sangat abstrak ini, akan tetapi konsep integrasi interkoneksi adalah paradigma yang bisa divisualisasikan dalam kehidupan kita. Sebenarnya di kalangan akademisi sendiri masih belum banyak dipahami tentang indikator keberhasilan dalam penerapan konsep integrasi interkoneksi ini, sehingga belum diketahui titik evaluasi yang harus diperbaiki. Untuk memahami konsep integrasi interkoneksi dalam praktek keseharian kita, maka saya akan menggunakan tiga kata kunci entitas yang diadopsi dari konsep keterpaduan ilmu oleh Prof. Dr. H. Amin Abdullah, yaitu nash (keagamaan), ilmu (alam dan sosial), dan falsafah (etika). Rumusnya adalah jika kita telah berhasil memadukan dan menyeimbangkan ketiga entitas di atas dalam berbagai segi kehidupan, maka kita telah berhasil menghilangkan gap dikhotomis di antaranya. Makna memadukan dan menyeimbangkan di sini adalah mengkaitkan tanpa mengacuhkan kepentingan ketiganya.